baca artikel dibayar 1$ / hari

readbud - get paid to read and rate articles

Senin, 23 Februari 2009

menulis tidak selamanya mudah

tulisan ini gue curi dari salah satu blog. guys, gue adalah penulis miskin sekaligus penulis yang doyan maling tulisan orang. ga pa-pa lah. gue pengen penuhin blog gue dengan tulisan-tulisan tentang menulis. met baca za deh..........

Pertama kali saya membaca buku Mengarang itu Gampang karya Arswendo Atmowiloto terbesit pertanyaan dalam benak saya, “benarkah?”. Mengarang yang seperti apa?. Banyak sekali buku “Gampang” lainnya yang beredar di pasar yang membuat pembaca penasaran terhadap isinya. Meskipun pada kenyataannya tidak semudah yang ditulis. Fakta membuktikan banyak sekali penulis “junior” yang masih mengalami kesulitan untuk mengarang meski sudah belajar bertahun-tahun. Bahkan novelis sekaliber Stephen King dalam Stephen King on Writing baru bisa diakui sebagai pengarang setelah bertahun-tahun gagal. Dia harus berjuang selama lebih dari 10 tahun supaya naskahnya diterbitkan!. Tentunya King tidak berpendapat kalau mengarang itu gampang kan tetapi mengarang menjadi gampang kalau sudah tahu jurus-jurusnya. Baca saja kaidah-kaidah penulisan cerita dalam memoarnya yang spektakuler itu, begitu menggugah dan cerdas, serta menunjukkan betapa detilnya King dalam merumuskan kiat-kiat penulisan yang bagus. Tulisannya itu membuat saya sadar kalau mengarang memerlukan imajinasi yang kuat dan pemahaman tentang manusia supaya karangan kita tidak “aneh”. Banyak sekali novel-novel (dalam negeri) yang beredar di pasar memiliki kekurangan dari sisi kekuatan karakter tokoh-tokohnya dan deskripsi keadaan (yang kurang imajinatif). Ini membuktikan kalau mengarang atau menulis cerita diperlukan sebuah keahlian khusus yang didapat dari banyak membaca dan menulis.

Dulu sewaktu saya masih aktif menulis artikel-artikel tentang sains saya menganggap mengarang itu gampang, seperti Arswendo bilang. Saya pikir mengarang itu ibarat orang sedang maaf “berak”. Asal sudah kenyang makan (input) maka secara otomatis tubuh dengan mudah akan mengeluarkan isi perut (output) kecuali orang tersebut sembelit he he…. Makanan saya samakan dengan pengalaman hidup (semua orang pasti punya pengalaman (input)) yang bisa digarap menjadi sebuah karya (output). Artinya semua orang punya potensi untuk menjadi penulis cerita. Mengenai menarik tidaknya itu bergantung pada seberapa unik dan mengesankannya pengalaman itu. Waktu itu saya sama sekali tidak menyadari kalau menulis cerita itu memerlukan teknik-teknik tertentu. Saya kira hanya dengan menekankan perasaan sewaktu menulis cerita itu sudah cukup. Rumusnya simple saja “Gunakan perasaan ketika menulis dan lupakan pikiranmu” maka segalanya akan berjalan sempurna. Ternyata rumus yang diajarkan oleh William Forrester itu itu tidak selamanya benar. Memang kalau kita menuliskan segala sesuatu dengan perasaan (bukan dengan pikiran) maka hasinya tulisan tersebut akan “bernyawa” atau hidup dan bisa mengaduk-aduk emosi pembacanya. Tetapi kalau menginginkan hasil sempurna seperti karya-karya penulis best seller internasional maka rumusan itu masih harus dilengkapi lagi. Mengarang tidak semudah menulis diari, mungkin semua orang bisa menulis diari tentang kisah hidupnya tetapi tidak semua orang bisa menjadi pengarang yang bagus. Sekali lagi saya tekankan kalau menulis cerita memerlukan keahlian khusus yang harus dipelajari dengan serius.

Bagi saya mengarang itu seperti mengerjakan soal hitung-hitungan. Kegairahan saya dalam berhitung sama dengan ketika saya sedang mengarang. Saya begitu menyukai keduanya karena sama-sama melibatkan imajinasi. Dan memang untuk menghasilkan karya yang bagus, seorang pengarang harus memiliki imajinasi yang kuat begitu juga dengan Matematikawan. Tidak percaya?. Pernah mengerjakan soal matematika tentang pembuktian rumus?. Saya kira semua orang yang pernah mengenyam pendidikan di SMA pernah mendapat soal dari guru untuk membuktikan rumus tertentu. Kalau imajinasi siswa tidak kuat, alhasil bukan jawaban yang didapat tetapi sederetan angka dan rumus yang terus mengembang sampai tidak berujung. Beruntung kalau siswa itu menyadari pembuktiannya salah sehingga harus dihentikan, bagaimana kalau tidak?. Hal ini menandakan kalau untuk mengerjakan soal pembuktian diperlukan imajinasi yang kuat terhadap rumus. Imajinasi yang rendah membuat kita kesulitan melihat “masa depan” jawaban dan tersesat dalam rimba angka dan rumus yang ruwet.

Nah mengarang juga begitu, bagaimana membuat tulisan yang bagus dan tidak membosankan?. Imajinasi kita harus kuat. Ini sebuah keahlian yang harus dimiliki oleh seorang penulis cerita. Beberapa novel yang saya temui di pasaran memiliki alur yang begitu lambat, dan deskripsi keadaan yang membosankan. Misalnya seorang penulis hendak menuliskan keadaan sebuah kamar kuno. Supaya deskripsinya menarik dia harus bisa mengelompokkan mana benda-benda yang mencerminkan kekunoan dan unik (tidak sama dengan kamar-kamar pada umumnya). Sungguh membosankan kalau penulis harus menceritakan keadaan bantal, selimut dan bentuk ruangan yang pesergi bila benda-benda tersebut tidak memiliki keunikan. Karangan yang terlalu dipenuhi detil-detil yang tidak perlu membuat pembaca ingin segera tidur saat membaca kalimat awalnya, dan ini bencana. Di sinilah letak tantangan pengarang tatkala harus memutuskan bagian mana yang akan diceritakan secara detil dan mana yang tidak. Karena kesalahan dalam pendiskripsian akan membuat cerita nampak membosankan. Jadi seorang penulis harus tahu rumusan yang akan dipakai dan tidak sembarangan menentukan detil-detil mana yang perlu diceritakan supaya “kesegaran” cerita tetap terjaga.

Tingkat menarik tidaknya sebuah cerita juga dipengaruhi oleh kecepatan penceritaan (disamping tema dan bobot ceritanya tentunya). Tak bisa dipungkiri, untuk membuat tulisan dengan kecepatan sedang (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat) memang merupakan sebuah tantangan besar, begitu yang dikatakan King. Banyak sekali penulis cerita yang terjebak di sini, ada yang menuliskan ceritanya dengan alur yang sangat lambat yang membuat pembacanya terkantuk-kantuk, ada pula yang terlalu cepat sehingga pembaca dibuat berfikir terus-terusan. Untuk persoalan kecepatan penulisan saya kira Dan Brown ahlinya. Dan Brown, tak hanya sukses dengan The Da Vinci Codenya, novel-novel karangannya yang lain juga menjadi best seller internasional. Angka penjualan novelnya pun tak tanggung-tanggung, The da Vinci Code misalnya terjual hingga jutaan kopi. Brown memang layak mendapat penghargaan karena disamping novelnya berbobot, gaya bahasa dan kecepatan penceritaannya begitu selaras sehingga menghasilkan cerita yang menawan. Novel-novel Brown memiliki kecepatan sedang yang menandakan kalau Brown benar-benar tahu dan bisa menjaga kecepatan ceritanya sehingga pembaca bisa dibuat penasaran terus sampai buku habis terbaca. Saya pernah menyelesaikan novel Dan Brown setebal 630 halaman dalam waktu 2 malam!. Hmm…kadang-kadang saya berfikir jangan-jangan Brown sudah terbiasa berfikir ala matematikawan sehingga dia tidak pernah tersesat dalam rimba kata-kata yang membosankan dan tak terumuskan. Pantaslah kalau dia disebut-sebut sebagai penulis novel terlaris abad ini. Dan Brown memang jenius!!.

0 komentar: